Nama Seno-penjual buku bekas di sebuah kawasan kaki lima-tiba-tiba ramai dibicarakan usai kabar dirinya meraup Rp291 juta dari Mahjong Ways 3. Cerita itu menyebar dari obrolan warganet dan grup pesan, lalu berujung pada kantong plastik di lapaknya yang tak lagi sepi. Orang datang penasaran, sebagian pulang membawa novel lawas.
Mahjong Ways 3 memantul-mantul di linimasa, memantik rasa ingin tahu pada sosok Seno yang sehari-hari menata jilid yang pudar. Di tengah sorotan, ia tetap melayani tawar-menawar dengan tenang dan menjaga gerobak laris baru yang menempel di tepi lapak.
Ia sudah bertahun-tahun menjual buku bekas; dari ensiklopedia terbitan lama hingga komik sobek yang masih dicari kolektor. Pagi datang lebih awal, sore baru gulung tikar, dan sebagian hasil dipakai membayar gudang kecil.
Kabar perolehan Rp291 juta mengubah ritme harian. Pedagang tetangga menuturkan, semenjak kabar beredar, Seno lebih sering diminta bercerita soal proses panjangnya merawat lapak dibanding tentang daftar harga.
Ia menegaskan pada pengunjung bahwa sumber nafkah tetap dari buku. Ia ingin momen yang viral itu tidak menghapus identitas dirinya sebagai penjaja literasi di jalanan.
Sumber stoknya beragam: pindahan rumah, penutupan toko kecil, hingga titipan dari pelanggan yang ingin raknya lebih lega. Koleksi yang datang ia bersihkan, dipilah, lalu diberi catatan kondisi pada kertas kecil di sampul. Kebiasaan rapi itu membuat pembeli merasa aman saat memboyong buku tua.
Nama gim itu berseliweran di komentar, thread, dan video pendek. Bagi sebagian warganet, cerita Seno menjadi bahan diskusi tentang peluang, peruntungan, dan keputusan finansial.
Tak sedikit yang mengingatkan soal risiko, mengajak fokus pada pekerjaan utama, dan menimbang catatan pengeluaran. Nada percakapan cenderung membumi, mengapresiasi kerja Seno menatap pelanggan yang datang bergelombang.
Dalam berbagai unggahan, tagar yang memuat Mahjong Ways 3 ikut melambung. Seno tidak menambahi narasi panjang; ia memilih menjaga lapak tetap tertata dan memastikan buku pesanan pelanggan tersedia.
Konten kreator ikut mengunjungi lapak, memotret susunan terbitan lama dan menanyakan buku-buku yang sulit dicari. Seno menghadapi kamera tanpa banyak gaya, hanya mengangkat beberapa judul yang sedang ia rekomendasikan kepada pembeli yang doyan kisah klasik.
Arus pengunjung meningkat dan durasi belanja memanjang. Kolektor yang lama tidak mampir kembali menanyakan daftar bacaan jadul, mahasiswa berburu referensi untuk tugas akhir, dan orang kantoran menyisir rak untuk hadiah sederhana.
Penjual di sekitar mengakui adanya imbas positif yang terasa hingga malam. Kedai kopi tenda mengatur stok lebih banyak, tukang fotokopi menambah kertas, dan penyewaan troli bongkar muat kebagian order tambahan.
Perubahan itu menuntut penataan baru demi kenyamanan. Seno menambah daftar katalog, memperbarui label harga agar mudah dibaca, dan menyiapkan kantong kresek lebih tebal agar buku tua tak mudah rusak.
Jam buka pun sedikit digeser agar bisa melayani pengunjung yang datang seusai bekerja. Ia juga membuat daftar tunggu untuk beberapa judul yang banyak dicari, lalu menghubungi pelanggan ketika buku yang dimaksud sudah tersedia.
Dalam hiruk pikuk yang mengiringi nama Mahjong Ways 3, sosok Seno menaruh fokus pada rutinitas yang selama ini ia jaga. Ia tetap mengandalkan ketekunan, layanan ramah, dan jaringan pelanggan yang dibangun dari sabar.
Kabar perolehan Rp291 juta pada akhirnya mengangkat lapak sekaligus menegaskan nilai kerja harian. Warganet mendapat cerita bernuansa humanis; Seno memperoleh pelanggan baru, dan buku-buku lama kembali berpindah tangan.
Bagi pembaca yang mengikuti kisah ini, makna utama terasa pada dorongan merawat usaha kecil agar panjang umur. Itu inti cerita yang bertahan meski riuh di linimasa mereda.